Merry
Wahyuningsih - detikHealth
Selasa, 26/07/2011 11:13 WIB
(Foto: thinkstock)
North Carolina, Seorang profesor biologi mengatakan hidup manusia kini
terlalu bersih yang membuat sistem kekebalan tubuh mengalami disorientaasi.
Akibatnya tubuh bereaksi berlebihan terhadap zat-zat sehari-hari yang
sebenarnya tidak berbahaya, seperti debu rumah. Rob Dunn, seorang profesor
biologi terkemuka percaya masa depan yang sehat terletak pada apa yang dia
sebut 'kembali ke alam liar tubuh kita'.
Dalam buku barunya, Prof Dunn
mendorong pembacanya untuk mengadopsi pendekatan radikal ke 'hipotesis
kebersihan'. Gagasan ini menunjukkan bahwa hidup kita telah menjadi terlalu
bersih dan ini membuat sistem kekebalan tubuh menjadi rentan. "Ini
menyebabkan kenaikan dalam respons alergi yang serius seperti asma serta penyakit autoimun termasuk penyakit Crohn (radang usus kronis) dan
rheumatoid arthritis," jelas Prof Rob Dunn dari North Carolina State
University, seperti dilansir Dailymail, Selasa (26/7/2011). Prof Dunn
menunjukkan beberapa bukti penelitian yang mendukung hipotesis kebersihannya. Dalam
sebuah studi terhadap 1.400 anak-anak awal tahun ini, para peneliti di Yale
University AS, menemukan bayi yang menerima antibiotik memiliki risiko 70
persen lebih tinggi menderita asma pada masa kanak-kanak. Risiko asma ini
mungkin disebabkan oleh fakta bahwa antibiotik menghilangkan bakteri secara
sangat luas, baik bakteri baik maupun bakteri jahat dalam tubuh bayi. Hal ini
akhirnya dapat menghalangi sistem kekebalan tubuh bayi yang belum matang dari
patokan sehat. Menurut Prof Dunn, sebelum penggunaan antibiotik dan hidup dalam
lingkungan yang sangat bersih, kekebalan tubuh manusia bisa digunakan untuk
bakteri dan belajar mengabaikan ancaman yang tidak berbahaya. Namun, ketika
tubuh tumbuh dan berkembang di lingkungan yang sangat higienis, sistem kekebalan
tubuh dapat bereaksi secara berlebihan terhadap provokator kecil, seperti
bakteri tingkat rendah yang tidak berbahaya. "Kita harus meyakinkan tubuh
kita bahwa mereka masih dalam keadaan alami seperti nenek moyang kita yang
menjelajahi hutan yang banyak kuman dan tinggal di gubuk-gubuk tidak sehat.
Kita dapat melakukan ini dengan memiliki cacing hidup di usus kita," jelas
Prof Dunn. Usulan memiliki cacing di usus, meski kedengarannya aneh dan
menjijikkan, tapi ilmuwan di seluruh dunia mengambil ide ini sangat serius. Argumen
Profesor Dunn terinspirasi oleh Joel Weinstock, seorang peneliti medis di Tufts
University, AS, yang melihat negara di mana Crohn menjadi umum di tempat-tempat
yang diketahui cacingan telah menjadi langka. Weinstock melakukan tes yang
hasilnya menunjukkan bahwa ketika ia menempatkan cacing parasit di dalam sistem
percernaan tikus, hal tersebut bisa menghentikan tikus mengalami penyakit iritasi usus besar. Weinstock juga mencobanya pada 29
manusia yang menderita Crohn pada tahun 1999. Setiap orang diberi segelas telur
cacing cambuk, yang biasanya hidup dalam usus babi. Meskipun strain cacing ini
tidak akan mampu berkembang biak dalam tubuh manusia, tetapi Weinstock berharap
hal ini bisa mendorong tubuh manusia untuk merespons kehadiran parasit ini. Hasilnya
setelah 4 minggu kemudian, semua pasien kecuali 1 orang mendapatkan hasil yang
lebih baik dan 21 diantaranya berada pada tahap pemulihan. Sejak itu,
penelitian lain telah menemukan bahwa ketika diobati dengan cacing, orang
dengan penyakit radang usus dapat membaik dan tikus diabetes dapat kembali
normal tingkat glukosa darahnya. Satu teori bahwa selama ribuan tahun evolusi,
sistem kekebalan tubuh manusia terbiasa dengan cacing. Jadi jika seseorang
membuatnya keluar dari tubuh, sistem kekebalan tubuh berjalan liar karena tidak
ada yang bekerja melawannya. Teori lain adalah bahwa cacing parasit dalam usus
dapat menghasilkan senyawa yang menekan sistem kekebalan tubuh. Ini mungkin
membuat tubuh berevolusi untuk bergantung setidaknya pada tingkat rendah senyawa
cacing yang dihasilkan untuk menjaga mereka berjalan dalam batas normal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar